Monday, March 30, 2009

Pelayanan Publik, antara Idealisme dan Kenyataan

Secara teori, sebuah negara dibentuk oleh masyarakat di suatu wilayah tidak lain bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama setiap anggotanya dalam koridor kebersamaan. Dalam angan setiap anggota masyarakat, negara yang dibentuk oleh mereka ini akan melaksanakan fungsinya menyediakan kebutuhan hidup anggotaberkaitan dengan konstelasi hidup berdampingan dengan orang lain di sekelilingnya. Di kehidupan sehari-hari, kebutuhan bersama itu sering kita artikan sebagai “kebutuhan publik”. Contoh sederhana, Kartu Tanda Penduduk (KTP) adalah kebutuhan publik bagi setiap orang yang sudah memenuhi persyaratan tertentu. Tanpa KTP, seseorang akan mengalami kesulitan dalam berurusan dengan orang lain atau sebuah institusi. KTP perlu dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang yang dibentuk dan ditunjuk oleh negara, seperti kelurahan atau desa.

Proses menerbitkan sebuah KTP bagi seorang anggota masyarakat kita sebut sebagai Pelayanan Publik, yang dapat diterjemahkan sebagai segala aktivitas yang dilakukan oleh petugas berwenang dalam melayani pemenuhan kebutuhan publik anggota masyarakatnya. Dalam konteks negara, pemenuhan kebutuhan publik tersebut diartikan sebagai pemenuhan hak-hak sipil seorang warga negara. Pelayanan publik umumnya tidak berbentuk barang melainkan layanan jasa, termasuk jasa administrasi. Hasil yang diperoleh dari adanya pelayanan publik oleh penyedia jasa layanan dapat berbentuk barang maupun bentuk jasa-jasa. Pelayanan publik biasanya dilakukan oleh pemerintah, namun dapat juga oleh pihak swasta.

Untuk dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, negara kemudian membentuk organisasi pemerintahan. Di Indonesia kita kenal sturktur pemerintahan negara dari level paling atas yakni presiden hingga ke level terbawah, Rukun Warga dan Rukun Tetangga (RW/RT). Karena negara dibentuk oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan publik anggotanya, maka sesungguhnya pelayanan publik adalah kewajiban utama seluruh aparatur pemerintah di setiap jenjang pemerintahan dan setiap jenis pelayanan publik. Sebagai sebuah kewajiban, maka sudah semestinya setiap aparat negara memberikan pelayanan publik yang terbaik.

Pelayanan publik umumnya dibagi dalam dua kategori sesuai dengan tingkat kepentingan kebutuhan warga negara, yakni pelayanan publik primer dan pelayanan publik sekunder. Pelayanan publik primer merujuk kepada semua jenis layanan dari sebuah instansi baik pemerintah maupun swasta untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat mutlak dari seorang warga negara. KTP bersifat mutlak bagi setiap warga negara yang sudah memenuhi syarat, terutama dari segi usia (18 tahun ke atas). Pemenuhan layanan air bersih, listrik, dan transportasi juga merupakan kebutuhan layanan publik yang bersifat mutlak bagi setiap orang. Sebaliknya, pelayanan publik sekunder merujuk kepada semua layanan yang tidak mutlak bagi seorang warga negara, semisal kebutuhan tata rias, hiburan, dan sejenisnya.

Untuk semua pelayanan yang bersifat mutlak, negara dan aparaturnya berkewajiban untuk menyediakan layanan yang bermutu dan mudah didapatkan setiap saat. Pada kehidupan bernegara di abad moderen ini, komitmen suatu negara untuk memberikan pelayanan publik yang memadai terhadap kebutuhan publik merupakan implementasi dari pemenuhan hak-hak azasi manusia dari warga negaranya. Oleh karena itu, ketika suatu instansi pemerintah memberikan layanan publik yang buruk, hal tersebut dianggap melanggar konvensi internasional tentang hak azasi manusia. Sebagai contoh, disaat warga negara kesulitan mendapatkan layanan pendidikan yang baik, bermutu, dan mudah diakses, maka sesungguhnya pemerintah telah berlaku lalai, melanggar hak azasi warga negaranya. Hal ini juga berlaku di setiap lembaga penyedia layanan publik, seperti di kelurahan/desa, puskesmas/rumah sakit, dan sebagainya.

Di sektor swasta, setiap lembaga swasta yang menyediakan pelayanan publik sudah semestinya mengadopsi pola pelayanan publik yang mencerminkan penghormatan kepada hak-hak warga negara untuk mendapatkan layanan yang sebaik-baiknya. Saat ini, dibandingkan dengan pihak pemerintah, sistim pelayanan publik pihak swasta umumnya tergolong lebih baik. Hal ini terutama disebabkan oleh tingginya persaingan antar pemberi layanan publik, seperti terlihat pada perusahaan-perusahaan penyedia jasa transportasi yang saling berlomba memberikan layanan terbaik bagi masyarakat. Walaupun demikian, pemantauan dan evaluasi dari masyarakat dan pemerintah tetap dibutuhkan agar kualitas pelayanan publik tetap terjaga bahkan dapat ditingkatkan.

Sebaliknya, yang sering terjadi di lapangan, justru lembaga-lembaga pemerintah selalu kedodoran dalam menyediakan pelayanan publik. Pengurusan KTP, Surat Izin Mengemudi (SIM), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), sulitnya memperoleh layanan pendidikan yang mudah dan bermutu, layanan kesehatan yang tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat, dan sebagainya, merupakan sebagian kecil dari contoh kesemrawutan pelayanan publik oleh pemerintah. Hal tersebut tentunya bertentangan dengan semangat reformasi yang sudah berjalan selama satu dekade ini.

Faktor utama yang menjadi penghambat dalam pelayanan publik yang baik dapat dianalisa dari dua sisi, yakni birokrasi dan standar pelayanan publik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam tubuh pemerintahan negara Indonesia pada semua jenjang dan jenisnya memiliki sturuktur birokrasi yang panjang, gemuk, dan berbelit. Hal ini mengakibatkan panjang dan berbelit-belitnya suatu urusan di sebuah lembaga penyedia layanan publik, yang tentu saja membutuhkan waktu yang lebih lama dan biaya tinggi. Keadaan ini diperburuk oleh mentalitas mayoritas aparat pemerintah yang masih feodalistik dan justru minta dilayani oleh rakyat. Proses rekrutmen kepegawaian yang kurang memperhatikan profesionalisme seseorang juga menjadi faktor penghambat pelaksanaan pelayanan publik dengan baik. Tambahan lagi, sistim penggajian yang rendah seringkali menjadi pemicu setiap petugas negara menjalankan aksi “mempersulit urusan” dari anggota masyarakat yang berurusan dengan mereka.

Ketiadaan standarisasi pelayanan publik yang dapat menjadi pedoman bagi setiap aparat pemerintah adalah sisi lain yang menjadi kelemahan pemerintah (dan juga pihak swasta) dalam memberikan pelayanan publik yang baik. Setiap institusi dapat membuat aturan dan pedoman sendiri sesuai selera masing-masing, dan standar inipun dapat berubah sewaktu-waktu sesuai keinginan dan kebutuhan personal pemimpin institusi tersebut. Alhasil, kualitas pelayanan publik amat beragam antar satu departemen dengan lembaga negara lainnya, antar daerah yang satu dengan daerah yang lain.

Sebagai sebuah negara besar yang sedang membangun, kebutuhan pelayanan publik yang baik dan berkualitas adalah mutlak. Hal ini diperlukan dalam rangka mendorong percepatan pembangunan bangsa dan negara Indonesia menuju pencapaian cita-cita nasional yakni mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur. Kerja keras pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melahirkan Undang-undang Pelayanan Publik (UU PP) adalah sesuatu yang patut dihargai dan didukung bersama. Walaupun, kita sama menyadari bahwa keberadaan sebuah UU di negara tercinta ini belum bisa menjamin sebuah pelaksanaan aturan secara murni dan konsekwen. Namun, paling tidak, masyarakat telah memiliki acuan hukum yang dapat dijadikan landasan berpijak dalam melakukan legal action terhadap ketidak-becusan aparat negara (maupun swasta) dalam memberikan pelayanan publik. (WL)

(Sumber : http://www.explore-indo.com)

Friday, March 13, 2009

WHAT IS GOOD GOVERNANCE ? ( 2 )

GOOD GOVERNANCE

Good governance has 8 major characteristics. It is participatory, consensus oriented, accountable, transparent, responsive, effective and efficient, equitable and inclusive and follows the rule of law. It assures that corruption is minimized, the views of minorities are taken into account and that the voices of the most vulnerable in society are heard in decision-making. It is also responsive to the present and future needs of society.

Figure 2: Characteristics of good governance

Participation

Participation by both men and women is a key cornerstone of good governance. Participation could be either direct or through legitimate intermediate institutions or representatives. It is important to point out that representative democracy does not necessarily mean that the concerns of the most vulnerable in society would be taken into consideration in decision making. Participation needs to be informed and organized. This means freedom of association and expression on the one hand and an organized civil society on the other hand.

Rule of law

Good governance requires fair legal frameworks that are enforced impartially. It also requires full protection of human rights, particularly those of minorities. Impartial enforcement of laws requires an independent judiciary and an impartial and incorruptible police force.

Transparency

Transparency means that decisions taken and their enforcement are done in a manner that follows rules and regulations. It also means that information is freely available and directly accessible to those who will be affected by such decisions and their enforcement. It also means that enough information is provided and that it is provided in easily understandable forms and media.

Responsiveness

Good governance requires that institutions and processes try to serve all stakeholders within a reasonable timeframe.

Consensus oriented

There are several actors and as many view points in a given society. Good governance requires mediation of the different interests in society to reach a broad consensus in society on what is in the best interest of the whole community and how this can be achieved. It also requires a broad and long-term perspective on what is needed for sustainable human development and how to achieve the goals of such development. This can only result from an understanding of the historical, cultural and social contexts of a given society or community.

Equity and inclusiveness

A society’s well being depends on ensuring that all its members feel that they have a stake in it and do not feel excluded from the mainstream of society. This requires all groups, but particularly the most vulnerable, have opportunities to improve or maintain their well being.

Effectiveness and efficiency

Good governance means that processes and institutions produce results that meet the needs of society while making the best use of resources at their disposal. The concept of efficiency in the context of good governance also covers the sustainable use of natural resources and the protection of the environment.

Accountability

Accountability is a key requirement of good governance. Not only governmental institutions but also the private sector and civil society organizations must be accountable to the public and to their institutional stakeholders. Who is accountable to whom varies depending on whether decisions or actions taken are internal or external to an organization or institution. In general an organization or an institution is accountable to those who will be affected by its decisions or actions. Accountability cannot be enforced without transparency and the rule of law.

CONCLUSION

From the above discussion it should be clear that good governance is an ideal which is difficult to achieve in its totality. Very few countries and societies have come close to achieving good governance in its totality. However, to ensure sustainable human development, actions must be taken to work towards this ideal with the aim of making it a reality.

(Source : United Nation ESCAP)

WHAT IS GOOD GOVERNANCE ? ( 1 )

Recently the terms "governance" and "good governance" are being increasingly used in development literature. Bad governance is being increasingly regarded as one of the root causes of all evil within our societies. Major donors and international financial institutions are increasingly basing their aid and loans on the condition that reforms that ensure "good governance" are undertaken.

This article tries to explain, as simply as possible, what "governance" and "good governance" means.

GOVERNANCE

The concept of "governance" is not new. It is as old as human civilization. Simply put "governance" means: the process of decision-making and the process by which decisions are implemented (or not implemented). Governance can be used in several contexts such as corporate governance, international governance, national governance and local governance.

Since governance is the process of decision-making and the process by which decisions are implemented, an analysis of governance focuses on the formal and informal actors involved in decision-making and implementing the decisions made and the formal and informal structures that have been set in place to arrive at and implement the decision.

Government is one of the actors in governance. Other actors involved in governance vary depending on the level of government that is under discussion. In rural areas, for example, other actors may include influential land lords, associations of peasant farmers, cooperatives, NGOs, research institutes, religious leaders, finance institutions political parties, the military etc. The situation in urban areas is much more complex. Figure 1 provides the interconnections between actors involved in urban governance. At the national level, in addition to the above actors, media, lobbyists, international donors, multi-national corporations, etc. may play a role in decision-making or in influencing the decision-making process.

All actors other than government and the military are grouped together as part of the "civil society." In some countries in addition to the civil society, organized crime syndicates also influence decision-making, particularly in urban areas and at the national level.

Similarly formal government structures are one means by which decisions are arrived at and implemented. At the national level, informal decision-making structures, such as "kitchen cabinets" or informal advisors may exist. In urban areas, organized crime syndicates such as the "land Mafia" may influence decision-making. In some rural areas locally powerful families may make or influence decision-making. Such, informal decision-making is often the result of corrupt practices or leads to corrupt practices.

Figure 1: Urban actors


(Source : United Nation ESCAP)

Five Steps Toward a Transformed Government

Mark A. Abramson (President of Leadership Inc.)

The next administration is likely to seek a higher performing, better executing government. Recent years have seen examples of where government did not execute as well as desired, such as the government's response to Hurricane Katrina, in providing health care at Walter Reed Hospital, and preparing for the 2010 Census.

If transformation is the goal of the next administration, there are five steps that the next President can take to get started on the road toward a transformed government:

Step One: Create a new government culture by taking advantage of the need for new hires. The next four years will bring an increased number of retirements, often referred to as the forthcoming retirement tsunami. These retirements will create a unique opportunity for government to recruit individuals with the desired set of skills and behaviors. Historically, the training or orientation of new hires has been mixed. Frequently, new hires receive little or no training or preparation for the government workplace. "Sign these many forms. Let me show you the restrooms. Now get to work!" This can change! For example, two week orientations sessions can be designed which can explore what it means to be a "resilient and flexible employee." Skills needed to collaborate and be more responsive and agile can be discussed. The government needs to provide "skills/behavior training" and a "cultural orientation" in addition to the traditional technical training many employees receive.

Step Two: Provide new collaborative technologies to all employees. We know that the "millenials" will provide the majority of new hires to government. We also know that these young people have grown up using computers and collaborative technologies. The challenge for government will be to learn how to apply tools such as social networking, wikis, blogs, and virtual worlds to making government more connected and less hierarchical. It has long been hypothesized that government will become less hierarchical, whether it wants to or not, because of the access to information now available to all -- both government employees as well as citizens. The "boss" can no longer "hold" or portion out information for bureaucratic reasons. Today, information is available to all and will change the way government operates. This will require dealing with new security and privacy issues.

Step Three: Develop new relationships between government and its contract workforce. A major challenge for a new administration will be to create a true partnership between employees and contractors. Today, the relationship has become increasingly adversarial rather than collegial. It is possible that the number of federal employees will increase in coming years. Nevertheless, government is likely to continue to use contractors and the trend toward a "blended workforce" will become an increasing reality for the government workplace. A proactive approach is needed to work with both government employees and contractors to better understand their respective roles and how each can perform that role and work effectively together. We need to build and train our contract officers and program managers and discuss anew what constitutes "inherently governmental".

Step Four: Enhance collaboration between the federal government and state and local governments, as well as the non-profit and private sectors. It is widely acknowledged that the federal government alone cannot effectively respond to all the challenges now facing the nation: challenges ranging from the environment to terrorism. The next Administration must develop new ways to improve inter-government collaboration to meet these challenges. Over the past decade, there have been successful inter-government collaborations; but most have occurred in an ad-hoc fashion due to the determination of a dedicated, collaborative team. The next Administration should learn from these previous intergovernmental collaborations and ensure that such working relationships become the norm rather than the exception. This same concept can also be applied to the federal government's work with the non-profit and private sector as well. A transformed federal government should no longer try to "to go it alone."

Step Five: Become more citizen centric. Citizens want government to work effectively and seamlessly for them and to do so in a more open manner. They do not care what happens in the "back office." They are concerned about how quickly their applications are processed and their questions answered. A transformed government would place increased focus on seamless and transparent interactions between government and citizens. And it would concentrate as much - or more - on execution and operational excellence as on the initiation of new policies or programs.


Note: This column is adapted from an article in the Spring 2008 Special Issue of The Public Manager.

Wednesday, March 11, 2009

ETIKA BIROKRASI DI DALAM PELAYANAN PUBLIK

A. Pendahuluan

Setiap masyarakat atau bangsa pasti mempunyai pegangan moral yang menjadi landasan sikap, perilaku dan perbuatan mereka untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Dengan pegangan moral itu mana yang baik dan mana yang buruk, benar dan salah serta mana yang dianggap ideal dan tidak. Oleh karena itu dimana pun kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara peranan etika tidak mungkin dikesampingkan. Semua warganegara berkepentingan dengan etika.

Sebagaimana diketahui, birokrasi atau administrasi publik memiliki kewenangan bebas untuk bertindak dalam rangka memberikan pelayanan umum serta menciptakan kesejahteraan masyarakat Untuk itu, kepada birokrasi diberikan kekuasaan regulatif, yakni tindakan hukum yang sah untuk mengatur kehidupan masyarakat melalui instrumen yang disebut kebijakan publik.

Sebagai suatu produk hukum, kebijakan publik berisi perintah (keharusan) atau larangan. Barangsiapa yang melanggar perintah atau melaksanakan perbuatan tertentu yang dilarang, maka ia akan dikenakan sanksi tertentu pula. Inilah implikasi yuridis dari suatu kebijakan publik. Dengan kata lain, pendekatan yuridis terhadap kebijakan publik kurang memperhatikan aspek dampak dan / atau kemanfaatan dari kebijakan tersebut. Itulah sebabnya, sering kita saksikan bahwa kebijakan pemerintah sering ditolak oleh masyarakat (public veto) karena kurang mempertimbangkan dimensi etis dan moral dalam masyarakat. Oleh karena itu, suatu kebijakan publik hendaknya tidak hanya menonjolkan nilai-nilai benar – salah, tetapi harus lebih dikembangkan kepada sosialisasi nilai-nilai baik – buruk. Sebab, suatu tindakan yang benar menurut hukum, belum tentu baik secara moral dan etis.

Dalam wacana kebijakan publik, telah lama didengungkan akan makna pentingnya orientasi pada pelayanan publik. Titik fokusnya pun terarah pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan publik, bukan pada si pembuat kebijakan tersebut. Namun demikian semakin dikaji dan ditelaah kedalaman makna dari konsepsi pelayanan publik tersebut, maka dalam dunia nyata semakin jauh makna hakiki dari pelayanan publik tersebut diimplementasikan secara tepat.

Organisasi publik (pemerintah) sebagai institusi yang membawa misi pelayanan publik, akhir-akhir ini semakin gencar mengkampanyekan dan saling berlomba untuk memberikan dan mengimplementasikan makna hakiki dari pelayanan publik tersebut, namun demikian di dalam pelaksanaannya masih jauh dari harapan yang diinginkan. Secara umum ada dua hal yang sangat berperan bagi organisasi pemerintah (birokrasi) di dalam mengimplementasikan konsepsi mengenai pelayanan publik tersebut. Yang pertama adalah faktor komitmen untuk melaksanakan kebijakan yang sudah ada. Disini birokrasi dituntut untuk mempunyai komitmen yang jelas melalui visi dan misi organisasi untuk melaksanakan fungsi pelayanan dengan baik. Yang kedua adalah faktor aparatur pelaksana (birokrat) yang menjalankan fungsi pelayanan tersebut. Disini setiap individu yang menjalankan fungsi pelayanan harus mengacu pada komitmen organisasional yang telah dituangkan di dalam visi dan misi organisasi tersebut. Jika kedua hal tersebut dijadikan sebagai acuan di dalam pelaksanaan fungsi pelayanan, maka akan membentuk suatu etika yang dijadikan sebagai pedoman di dalam setiap perilaku birokrat untuk melaksanakan tugasnya dengan sepenuh hati.

Isu tentang etika birokrasi di dalam pelayanan publik di Indonesia selama ini kurang dibahas secara luas dan tuntas sebagaimana terdapat di negara maju, meskipun telah disadari bahwa salah satu kelemahan dasar dalam pelayanan publik di Indonesia adalah masalah moralitas. Etika sering dilihat sebagai elemen yang kurang berkaitan dengan dunia pelayanan publik. Padahal, dalam literatur tentang pelayanan publik dan administrasi publik, etika merupakan salah satu elemen yang sangat menentukan kepuasan publik yang dilayani sekaligus keberhasilan organisasi di dalam melaksanakan pelayanan publik itu sendiri.

Elemen ini harus diperhatikan dalam setiap fase pelayanan publik, mulai dari penyusunan kebijakan pelayanan, desain struktur organisasi pelayanan, sampai pada manajemen pelayanan untuk mencapai tujuan akhir dari pelayanan tersebut. Dalam konteks ini, pusat perhatian ditujukan kepada aktor yang terlibat dalam setiap fase, termasuk kepentingan aktor-aktor tersebut – apakah para aktor telah benar-benar mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan-kepentingan yang lain. Misalnya, dengan menggunakan nilai-nilai moral yang berlaku umum, seperti nilai kebenaran (truth), kebaikan (goodness), kebebasan (liberty), kesetaraan (equality), dan keadilan (justice), kita dapat menilai apakah para aktor tersebut jujur atau tidak dalam penyusunan kebijakan, adil atau tidak adil dalam menempatkan orang dalam unit dan jabatan yang tersedia, dan bohong atau tidak dalam melaporkan hasil manajemen pelayanan.

Sejalan dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh birokrasi, maka telah terjadi pula perkembangan di dalam penyelenggaraan fungsi pelayanan publik, yang ditandai dengan adanya pergeseran paradigma dari rule government yang lebih menekankan pada aspek peraturan perundang-undangan yang berlaku menjadi paradigma good governance yang tidak hanya berfokus pada kehendak atau kemauan pemerintah semata, tetapi melibatkan seluruh komponen bangsa, baik birokrasinya itu sendiri pihak swasta dan masyarakat (publik) secara keseluruhan.

Alasan mendasar mengapa pelayanan publik harus diberikan adalah adanya public interest atau kepentingan publik yang harus dipenuhi oleh pemerintah karena pemerintahlah yang memiliki “tanggung jawab” atau responsibility. Dalam memberikan pelayanan ini pemerintah diharapkan secara profesional melaksanakannya, dan harus mengambil keputusan politik secara tepat mengenai siapa mendapat apa, berapa banyak, dimana, kapan, dsb. Padahal, kenyataan menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki tuntunan atau pegangan kode etik atau moral secara memadai. Asumsi bahwa semua aparat pemerintah adalah pihak yang telah teruji pasti selalu membela kepentingan publik atau masyarakatnya, tidak selamanya benar. Banyak kasus membuktikan bahwa kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi justru mendikte perilaku seorang birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki “independensi” dalam bertindak etis, atau dengan kata lain, tidak ada “otonomi dalam beretika”.

B. Konsep Etika Dalam Pelayanan Publik

Keban (2001) mengatakan bahwa dalam arti yang sempit, pelayanan publik adalah suatu tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan

dengan swasta dan masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat dan pasar. Konsep ini lebih menekankan bagaimana pelayanan publik berhasil diberikan melalui suatu delivery system yang sehat. Pelayanan publik ini dapat dilihat sehari-hari di bidang administrasi, keamanan, kesehatan, pendidikan, perumahan, air bersih, telekomunikasi, transportasi, bank, dan sebagainya. Tujuan pelayanan publik adalah menyediakan barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakat. Barang dan jasa yang terbaik adalah yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian pelayanan publik yang terbaik adalah yang memberikan kepuasan terhadap publik, kalau perlu melebihi harapan publik.

Dalam arti yang luas, konsep pelayanan public (public service) identik dengan public administration yaitu berkorban atas nama orang lain dalam mencapai kepentingan publik (J.L.Perry, 1989: 625). Dalam konteks ini pelayanan publik lebih dititik beratkan kepada bagaimana elemen-elemen administrasi publik seperti policy making, desain organisasi, dan proses manajemen dimanfaatkan untuk mensukseskan pemberian pelayanan publik, dimana pemerintah merupakan pihak provider yang diberi tanggung jawab.

Bertens (2000) menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti, salah satu diantaranya dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Filsuf besar Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan kata etika ini dalam menggambarkan filsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Bertens juga mengatakan bahwa di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan Purwadaminta, etika dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral), sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), istilah etika disebut sebagai (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

Dengan memperhatikan beberapa sumber diatas, Bertens berkesimpulan bahwa ada tiga arti penting etika, yaitu etika (1) sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, atau disebut dengan “sistim nilai”; (2) sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering dikenal dengan “kode etik”; dan (3) sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk, yang acapkali disebut “filsafat moral”.

Pemikiran tentang etika yang dikaitkan dengan pelayanan publik mengalami perkembangan sejak tahun 1940-an melalui karya Leys (dalam Keban, 1994). Leys mengatakan bahwa seorang administrator dianggap etis apabila ia menguji dan mempertanyakan standard-standard yang digunakan dalam pembuatan keputusan dan tidak mendasarkan keputusannya semata-mata pada kebiasaan dan tradisi yang sudah ada.

Pada sekitar tahun 1950-an mulai berkembang pola pemikiran baru melalui karya Anderson (dalam Keban, 1994) untuk menyempurnakan aspek standard yang digunakan dalam pembuatan keputusan. Karya Anderson menambah satu point baru, bahwa standard-standard yang digunakan sebagai dasar keputusan tersebut sedapat mungkin merefleksikan nilai-nilai dasar dari masyarakat yang dilayani.

Kemudian pada tahun 1960-an muncul kembali pemikiran baru lewat tulisan Golembiewski (dalam Keban, 1994) yang menambah elemen baru, yaitu standar etika yang mungkin mengalami perubahan dari waktu ke waktu dan karena itu administrator harus mampu memahami perkembangan dan bertindak sesuai standard-standard perilaku tersebut.

Sejak permulaan tahun 1970-an ada beberapa tokoh penting yang sangat besar pengaruhnya terhadap konsepsi mengenai etika administrator publik, dua diantaranya seperti yang dikatakan oleh Keban (1994) adalah John Rohr dan Terry L. Cooper. Rohr menyarankan agar administrator dapat menggunakan regime norms yaitu nilai-nilai keadilan, persamaan dan kebebasan sebagai dasar pengambilan keputusan terhadap berbagai alternatif kebijaksanaan dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Dengan cara demikian maka administrator publik dapat menjadi lebih etis (being ethical). Sementara itu menurut Cooper etika sangat melibatkan substantive reasoning tentang kewajiban, konsekuensi dan tujuan akhir; dan bertindak etis (doing ethics) adalah melibatkan pemikiran yang sistematis tentang nilai-nilai yang melekat pada pilihan-pilihan dalam pengambilan keputusan. Pemikiran Cooper bahwa administrator yang etis adalah administrator yang selalu terikat pada tanggung jawab dan peranan organisasi, sekaligus bersedia menerapkan standard etika secara tepat pada pembuatan keputusan administrasi.

C. Paradigma Etika Dalam Pelayanan Publik

Menurut Fadillah (2001) etika pelayanan publik adalah suatu cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik. Oleh sebab itu maka etika mempersoalkan ”baik-buruk”, dan bukan ”benar-salah” tentang sikap, tindakan dan perilaku manusia dalam berhubungan dengan sesamanya, baik dalam masyarakat maupun organisasi publik, maka etika mempunyai peran penting dalam praktek administrasi publik.

Dalam paradigma ”dikotomi politik dan administrasi” sebagaimana dijelaskan oleh Wilson (dalam Widodo, 2001) menegaskan bahwa pemerintah memiliki dua fungsi yang berbeda, yaitu fungsi politik yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan (public policy making) atau pernyataan apa yang menjadi keinginan negara, dan fungsi administrasi, yaitu berkenaan dengan pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut.

Dengan demikian kekuasaan membuat kebijakan publik berada pada kekuasaan politik (political master), dan melaksanakan kebijakan politik tadi merupakan kekuasaan administrasi publik. Namun karena administrasi publik dalam menjalankan kebijakan politik tadi memiliki kewenangan secara umum disebut ”discretionary power”, keleluasaan untuk menafsirkan suatu kebijakan politik dalam bentuk program dan proyek, maka timbul suatu pertanyaan, apakah ada jaminan dan bagaimana menjamin bahwa kewenangan itu digunakan secara ”baik dan tidak secara buruk” ? Atas dasar inilah etika diperlukan dalam administrasi publik. Etika dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh aparat birokrasi dalam menjalankan kebijakan politik, dan sekaligus digunakan sebagai standar penilaian apakah perilaku aparat birokrasi dalam menjalankan kebijakan tersebut dapat dikatakan baik atau buruk.

Saran klasik di tahun 1900 sampai 1929 untuk memisahkan administrasi dari politik (dikotomi) menunjukan bahwa administrator sungguh-sungguh netral, bebas dari pengaruh politik ketika memberikan pelayanan publik. Akan tetapi kritik bermunculan menentang ajaran dikotomi administrasi – politik pada tahun 1930-an, sehingga perhatian mulai ditujukan kepada keterlibatan para administrator dalam keputusan-keputusan publik atau kebijakan publik. Sejak saat ini mata publik mulai memberikan perhatian khusus terhadap “permainan etika” yang dilakukan oleh para birokrat pemerintahan. Penilaian keberhasilan seorang administrator atau aparat pemerintah tidak semata didasarkan pada pencapaian kriteria efisiensi, ekonomi, dan prinsip-prinsip administrasi lainnya, tetapi juga kriteria moralitas, khususnya terhadap kontribusinya terhadap public interest atau kepentingan umum (Henry, 1995).

Hummel (dalam Widodo, 2001) mengatakan bahwa birokrasi sebagai bentuk organisasi yang ideal telah merusak dirinya dan masyarakatnya dengan ketiadaan norma-norma, nilai-nilai dan etika yang berpusat pada manusia. Sementara itu Kartasasmita (1997) mengatakan bahwa birokrasi melenceng dari keadaan yang seharusnya. Birokrasi selalu dilihat sebagai masalah teknis dan bukan masalah moral, sehingga timbul berbagai persoalan dalam bekerjanya birokrasi publik.

Sementara itu pemahaman mengenai pelayanan publik yang disediakan oleh birokrasi merupakan wujud dari fungsi aparat birokrasi sebagai abdi masyarakat dan abdi negara. Sehingga maksud dari pelayanan publik adalah demi mensejahterakan masyarakat. Dalam kaitan itu maka Widodo (2001) mengartikan pelayanan publik sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang banyak atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi publik sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditentukan.

Sehubungan dengan hal tersebut Thoha (1998) mengatakan bahwa kondisi masyarakat saat ini terjadi suatu perkembangan yang sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik merupakan indikasi dari empowering yang dialami oleh masyarakat. Hal ini berarti masyarakat semakin sadar akan apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat semakin berani untuk mengajukan tuntutan, keinginan dan aspirasinya kepada pemerintah. Masyarakat semakin kritis dan semakin berani untuk melakukan kontrol terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintah.

Dengan kondisi masyarakat yang semakin kritis, birokrasi publik dituntut mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dala memberikan pelayanan publik, yaitu dari yang suka mengatur dan memerintah berubah menjadi suka melayani, dari yang suka menggunakan pendekatan kkuasaan berubah menjadi suka menolong menuju ke arah yang fleksibel kolaboratis dan dialogis, dan dari cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatis (Thoha, 1998).

Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan di atas aparat birokrasi harus dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, efisien, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, reponsif, adaptif dan sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri (Effendi, 1989).

Selanjutnya pelayanan publik yang profesional adalah pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan, yaitu aparatur pemerintah (Widodo, 2001). Ciri-cirinya adalah : (1) efektif, lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran; (2) sederhana, mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan; (3) kejelasan dan kepastian (transparan), mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai : (a) prosedur dan tata cara pelayanan; (b) persyaratan pelayanan, baik teknis maupun administratif; (c) unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan; (d) rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya; dan (e) jadwal waktu penyelesaian pelayanan; (4) keterbukaan, mengandung arti prosedur/tata cara, persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian biaya serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak; (5) efisiensi, mengandung arti : (a) persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk layanan yang berkaitan; (b) dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait; (6) ketepatan waktu, kriteria ini mengandung arti bahwa pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan; (7) responsif, lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan dalam aspirasi masyarakat yang dilayani; dan (8) adaptif, adalah cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan aspirasi masyarakat yang dilayani yang senantiasa mengalami perkembangan.

D. Etika Birokrasi Dalam Pelayanan Publik

Dari paparan tersebut di atas maka dapat pula dikatakan bahwa etika sangat diperlukan dalam praktek administrasi publik untuk dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh administrasi publik. Disamping itu perilaku birokrasi tadi akan mempengaruhi bukan hanya dirinya sendiri, tetapi juga masyarakat yang dilayani. Masyarakat berharap adanya jaminan bahwa para birokrat dalam menjalankan kebijakan politik dan memberikan pelayanan publik yang dibiayai oleh dana publik senantiasa mendasarkan diri pada nilai etika yang selaras dengan kedudukannya. Birokrasi merupakan sebuah sistem, yang dalam dirinya terdapat kecenderungan untuk terus berbuat bertambah baik untuk organisasinya maupun kewenangannya (big bureaucracy, giant bureaucracy), perlu menyandarkan diri pada nilai-nilai etika. Dengan demikian maka etika (termasuk etika birokrasi) mempunyai dua fungsi, yaitu : pertama sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam organisasi tadi dinilai baik, terpuji dan tidak tercela; kedua, etika birokrasi sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku dan tindakan birokrasi publik dinilai baik, tidak tercela dan terpuji.

Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, penuntun bagi birokrasi publik dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya antara lain adalah : (1) efisiensi, artinya tidak boros, sikap, perilaku dan perbuatan birokrasi publik dikatakan baik jika mereka efisien; (2) membedakan milik pribadi dengan milik kantor, artinya milik kantor tidak digunakan untuk kepentingan pribadi; (3) impersonal, maksudnya dalam melaksanakan hubungan kerjasama antara orang yang satu dengan lainnya secara kolektif diwadahi oleh organisasi, dilakukan secara formal, maksudnya hubungan impersonal perlu ditegakkan untuk menghindari urusan perasaan dari pada unsur rasio dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab berdasarkan peraturan yang ada dalam organisasi. Siapa yang salah harus diberi sanksi dan yang berprestasi selayaknya mendapatkan penghargaan; (4) merytal system, nilai ini berkaitan dengan rekrutmen dan promosi pegawai, artinya dalam penerimaan pegawai atau promosi pegawai tidak di dasarkan atas kekerabatan, namun berdasarkan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), sikap (attitude), kemampuan (capable), dan pengalaman (experience), sehingga menjadikan yang bersangkutan cakap dan profesional dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dan bukan spoil system (adalah sebaliknya); (5) responsible, nilai ini adalah berkaitan dengan pertanggungjawaban birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya; (6) accountable, nilai ini merupakan tanggung jawab yang bersifat obyektif, sebab birokrasi dikatakan akuntabel bilamana mereka dinilai obyektif oleh masyarakat karena dapat mempertanggungjawabkan segala macam perbuatan, sikap dan sepak terjangnya kepada pihak mana kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki itu berasal dan mereka dapat mewujudkan apa yang menjadi harapan publik (pelayanan publik yang profesional dan dapat memberikan kepuasan publik); (7) responsiveness, artinya birokrasi publik memiliki daya tanggap terhadap keluhan, masalah dan aspirasi masyarakat dengan cepat dipahami dan berusaha memenuhi, tidak suka menunda-nunda waktu atau memperpanjang alur pelayanan.

Berkaitan dengan nilai-nilai etika birokrasi sebagaimana digambarkan di atas, maka dapat pula dikatakan bahwa jika nilai-nilai etika birokrasi tersebut telah dijadikan sebagai norma serta diikuti dan dipatuhi oleh birokrasi publik dalam melaksanakan tugas da kewenangannya, maka hal ini akan dapat mencegah timbulnya tindakan kolusi, korupsi dan nepotisme, ataupun bentuk-bentuk penyelewengan lainnya dalam tubuh birokrasi, kendatipun tidak ada lembaga pengawasan. Namun demikian harus dimaklumi pula bahwa etika birokrasi belum cukup untuk menjamin tidak terjadi perilaku KKN pada tubuh birokrasi. Hal yang lebih penting adalah kembali kepada kepribadian dari masing-masing pelaku (manusianya). Dengan kata lain bahwa kontrol pribadi dalam bentuk keimanan dan keagamaan yang melekat pada diri setiap individu birokrat sangat berperan dalam membentuk perilakunya. Dengan adanya kontrol pribadi yang kuat pada diri setiap individu maka akan dapat mencegah munculnya niat untuk melakukan tindakan-tindakan mal-administrasi (penyelewengan).

Menurut Keban (2001) Kode etik pelayanan publik di Indonesia masih terbatas pada beberapa profesi seperti ahli hukum dan kedokteran sementara kode etik untuk profesi yang lain masih belum nampak. Ada yang mengatakan bahwa kita tidak perlu kode etik karena secara umum kita telah memiliki nilai-nilai agama, etika moral Pancasila, bahkan sudah ada sumpah pegawai negeri yang diucapkan setiap apel bendera. Pendapat tersebut tidak salah, namun harus diakui bahwa ketiadaan kode etik ini telah memberi peluang bagi para pemberi pelayanan untuk mengenyampingkan kepentingan publik. Kehadiran kode etik itu sendiri lebih berfungsi sebagai alat kontrol langsung bagi perilaku para pegawai atau pejabat dalam bekerja. Dalam konteks ini, yang lebih penting adalah bahwa kode etik itu tidak hanya sekedar ada, tetapi juga dinilai tingkat implementasinya dalam kenyataan. Bahkan berdasarkan penilaian implementasi tersebut, kode etik tersebut kemudian dikembangkan atau direvisi agar selalu sesuai dengan tuntutan perubahan jaman.

Kita mungkin perlu belajar dari negara lain yang sudah memiliki kedewasaan beretika. Di Amerika Serikat, misalnya, kesadaran beretika dalam pelayanan publik telah begitu meningkat sehingga banyak profesi pelayanan publik yang telah memiliki kode etik. Salah satu contoh yang relevan dengan pelayanan publik aalah kode etik yang dimiliki ASPA (American Society for Public Administration) yang telah direvisi berulang kali dan terus mendapat kritikan serta penyempurnaan dari para anggotanya. Nilai-nilai yang dijadikan pegangan perilaku para anggotanya antara lain integritas, kebenaran, kejujuran, ketabahan, respek, menaruh perhatian, keramahan, cepat tanggap, mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan lain, bekerja profesional, pengembangan profesionalisme, komunikasi terbuka dan transparansi, kreativitas, dedikasi, kasih sayang, penggunaan keleluasaan untuk kepentingan publik, beri perlindungan terhadap informasi yang sepatutnya dirahasiakan, dukungan terhadap sistim merit dan program affirmative action.

E. Penutup

Dalam praktek pelayanan publik saat ini di Indonesia, seharusnya kita selalu memberi perhatian terhadap dilema diatas. Atau dengan kata lain, para pemberi pelayanan publik harus mempelajari norma-norma etika yang bersifat universal, karena dapat digunakan sebagai penuntun tingkah lakunya. Akan tetapi norma-norma tersebut juga terikat situasi sehingga menerima norma-norma tersebut sebaiknya tidak secara kaku. Bertindak seperti ini menunjukan suatu kedewasaan dalam beretika. Dialog menuju konsensus dapat membantu memecahkan dilema tersebut.

Kelemahan kita terletak pada ketiadaan atau terbatasnya kode etik. Demikian pula kebebasan dalam menguji dan mempertanyakan norma-norma moralitas yang berlaku belum ada, bahkan seringkali kaku terhadap norma-norma moralitas yang sudah ada tanpa melihat perubahan jaman. Kita juga masih membiarkan diri kita didikte oleh pihak luar sehingga belum terjadi otonomi beretika.

Kadang-kadang, kita juga masih membiarkan diri kita untuk mendahulukan kepentingan tertentu tanpa memperhatikan konteks atau dimana kita bekerja atau berada. Mendahulukan orang atau suku sendiri merupakan tindakan tidak terpuji bila itu diterapkan dalam konteks organisasi publik yang menghendaki perlakuan yang sama kepada semua suku. Mungkin tindakan ini tepat dalam organisasi swasta, tapi tidak tepat dalam organisasi publik. Oleh karena itu, harus ada kedewasaan untuk melihat dimana kita berada dan tingkatan hirarki etika manakah yang paling tepat untuk diterapkan.

Friday, March 6, 2009

Reformasi Birokrasi di Indonesia

Pada 2004 Asian Development Bank dan Kemitraan untuk Reformasi Tata Pemerintahan di Indonesia (Partnership for Governance Reform in Indonesia) menerbitkan Laporan Tata Pemerintahan Negara Indonesia. Laporan tersebut menyimpulkan bahwa tiga tujuan reformasi tata pemerintahan yang ditempuh oleh Pemerintah Indonesia yakni, penataan struktur pemerintahan negara, desentralisasi pemerintahan, dan reformasi keuangan negara, telah berjalan cukup lancar tetapi belum berhasil seperti diharapkan.
Skala reformasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dinilai mempunyai cakupan yang sangat luas. Bahkan seringkali dipandang terlalu luas dan terlalu cepat jika dibandingkan dengan apa yang pernah dilakukan oleh banyak negara di dunia. Indonesia juga dipandang telah melakukan perubahan radikal dalam tata hubungan antara pusat dan daerah melalui program desentralisasi pemerintahan yang belum pernah ditempuh oleh negara mana pun di dunia.
Namun demikian reformasi yang demikian luas dan begitu radikal perubahannya tersebut, ternyata belum berhasil menciptakan tata pemerintahan yang baik di Indonesia. Seperti diketahui bersama bahwa secara sederhana visi reformasi, khususnya reformasi birokrasi adalah terwujudnya tata pemerintahan yang baik, sementara itu misi daripada reformasi birokrasi adalah membangun, menata ulang, menyempurnakan, membina, dan menertibkan birokrasi pemerintahan, agar mampu dan komunikatif dalam menjalankan peranan dan fungsinya.
Meskipun sudah hampir sepuluh tahun kata ”reformasi” menjadi kata kunci disetiap perbincangan politik, dan telah dianggap sebagai formulasi babak baru modernisasi Indonesia dalam sistem pemerintahan dan sistem politik yang lebih demokratis dan berkeadilan. Namun kenyataannya hingga saat ini, reformasi politik yang terjadi menyusul kejatuhan rezim Orde baru tidak mampu menghasilkan perbaikan kehidupan yang berarti bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Keberhasilan Indonesia untuk menyelenggarakan pemilu yang demokratis dan membentuk rezim pemerintahan yang baru dari sistem otoritarian-sentralistis menjadi sistem demokratis-desentralistis belum juga membawa bangsa ini dari krisis.
Target dan sasaran reformasi birokrasi ada lima hal. Pertama, terbentuknya birokrasi yang bersih, yaitu birokrasi yang anti KKN dan berkurangnya perilaku koruptif pegawai negeri. Kedua, birokrasi yang efisien dan hemat dalam menggunakan sumber daya yang terbatas. Ketiga, birokrasi yang transparan yakni birokrasi yang seluruh kebijakan dan aktivitasnya diketahui masyarakat dan masyarakat dapat mengaksesnya dengan mudah. Keempat, birokrasi yang melayani, yaitu birokrasi yang tidak minta dilayani, tetapi birokrasi yang melayani masyarakat. Kelima, birokrasi yang terdesentralisasi, yaitu kewenangan pengambilan keputusan terdesentralisasi kepada pimpinan unit kerja terdepan.
Kelima target dan sasaran daripada reformasi birokrasi tersebut selama ini masih belum mampu diwujudkan secara nyata oleh pemerintah. Hal ini menurut Thoha (2002) disebabkan karena birokrasi pemerintah semakin terkooptasi dan diintervensi oleh partai politik yang mempersiapkan kemenangan pemilu bagi partainya. Kepentingan subjektivitas partai semakin kuat untuk menguasai birokrasi pemerintah. Hal ini mengakibatkan birokrasi pemerintah terkotak-kotak sebagai kapling partai politik. Partai politik membangun blok (building block) di birokrasi pemerintah untuk kepentingan partainya. Netralitas birokrasi pemerintah terhadap kekuatan partai politik sulit bisa dihindari.
Harapan masyarakat bahwa rezim pemerintahan yang baru dengan sistem demokratis-desentralistis yang dijalankan akan mampu memerangi KKN dalam bentuk pemerintahan yang bersih masih amat jauh dari realitas. Praktek KKN dalam pemerintahan dan pelayanan publik masih terus berlangsung, bahkan dalam skala dan pelaku yang semakin meluas. Keinginan masyarakat untuk menikmati pelayanan yang efisien, responsif, transparan, dan akuntabel masih amat jauh dari realitas. Masuknya orang-orang baru dalam pemerintahan, baik legislatif maupun ekskutif, juga tidak mampu menciptakan perbaikan yang berarti dalam kinerja pemerintah. Bahkan, banyak dia natara mereka akhirnya terperangkap dalam kubangan lumpur KKN dan ikut memperburuk kinerja birokrasi publik.
Kesulitan dalam memberantas KKN dalam pemerintahan dan birokrasi terjadi karena rendahnya komitmen pemerintah untuk membenahi sistem birokrasi publik. Banyak perhatian diberikan untuk mereformasi sistem dan lembaga politik, tetapi hal yang sama tidak dilakukajn dalam birokrasi publik. Reformasi politik yang tidak diikuti oleh reformasi birokrasi ternyata tidak banyak menghasilkan perbaikan kinerja pelayanan publik. Dengan birokrasi yang masih kuat mempraktekan budaya korup, bersikap sebagai penguasa, dan tidak profesional maka perubahan apapun yang terjadi dalam pemerintahan tidak akan memiliki dampak yang berarti bagi perbaikan kinerja pelayanan publik. Karenya, menjadi sangat wajar klau perbaikan kehidupan politik yang menjadi semakin demokratis sekarang ini belum memiliki damak yang berarti pada kinerja birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Kinerja birokrasi pelayanan publik menjadi isu kebijakan yang semakin penting dan strategis karena perbaikan kinerja birokrasi memiliki implikasi yang luas dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan politik. Dalam kehidupan ekonomi, perbaikan kinerja birokrasi akan bisa memperbaiki iklim investasi yang amat diperlukan bangsa Indonesia untuk segara keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Buruknya kinerja birokrasi publik di Indonesia sering menjadi determinan yang penting dari penurunan minat investasi. Dari berbagai studi dan observasi, kinerja birokrasi publik di Indonesia tidak banyak mengalami perbaikan, bahkan cenderung menjadi semakin buruk. Akibatnya, pemerintah mengalami kesulitan dalam menarik investasi, belum lagi ditambah dengan masalah-masalah lain, seperti ketidak-pastian hukum dan keamanan nasional.
Dalam kehidupan sosial, perbaikan kinerja birokrasi akan bisa memperbaiki sistem kehidupan masyarakat yang lebih mengembangkan pola hubungan secara terbuka, taat aturan, menghargai hasil kerja secara profesional, dan berorientasi pada kepuasan hasil kerja (produktivits). Pada akhirnya perbaikan kinerja birokrasi akan lebih mendorong tumbuhnya sistem sosial yang mengutamakan etos kerja dan moralitas sebagai bagian dari relasi sosial.
Dalam kehidupan politik, perbaikan kinerja birokrasi pelayanan publik akan memiliki implikasi luas, terutama dalam memperbaiki tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Buruknya kinerja birokrasi selama ini menjadi salah satu faktor penting yang mendorong munculnya krisis kepercayaan kepada pemerintah. Protes, demonstrasi, dan bahkan pendudukan kantor-kantor pemerintah oleh masyarakat yang banyak terjadi di berbagaia daerah menjadi indikator dari besarnya ketidak-puasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Perbaikan kinerja birokrasi pelayanan publik diharapkan akan memperbaiki kembali image pemerintah di mata masyarakat karena dengan kualitas pelayanan publik yang semakin baik, kepuasan dan kepercayaan masyarakat bisa di bangun kembali.
Oleh sebab itu, kajian mengenai kinerja birokrasi publik menjadi issue sentral dan memiliki nilai strategis terutama yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik. Namun dari berbagai kajian empiris dan teoretis; seperti yang dilakukan oleh Dwiyanto, dkk (2002) memperlihatkan bahwa informasi mengenai kinerja birokrsi pelayanan publik dan faktor-faktor yang ikut membentuk kinerja birokrasi menjadi amat penting untuk merumuskan kebijakan yang holistik guna memperbaiki kinerja birokrasi. Tanpa didasarkan pada informasi yang akurat dan reliabel, kebijakan reformasi birokrasi tidak mampu menyentuh semua dimensi persoalan yang selama ini menghambat upaya perbaikan kinerja birokrasi publik.
Pengalaman menunjukkan bahwa sudah sewindu gerakan reformsi birokrasi dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki kinerja birokrasi tidak mampu menghasilkan perubahan yang berarti. Hal ini terjadi karena kebijakan tersebut gagal menyelesaikan berbagai masalah yang selama ini ikut memberikan kontribusi pada rendahnya kinerja birokrasi. Hal ini ditandai dengan semakin meluas eskalasi korupsi baik pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah otonom, semakin mahalnya ongkos yang dikeluarkan oleh masyarakat pengguna jasa pelayanan publik. Kenyataan ini semakin menguatkan sinyalemen semakin terpuruknya kinerja birokrasi publik di tengah berlangsungnya gerakan reformasi birokrasi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Achmadi (2004) menunjukkan bahwa kegagalan kebijakan reformasi birokrasi dalam memperbaiki kinerja birokrasi adalah diakibatkan oleh kegagalan kebijakan reformasi birokrasi yang mampu menumbuhkan budaya organisasi yang mampu mendorong perubahan-perubahan yang posotif terhadap penyelenggaraan pelayanan publik. Selain itu, masih rendahnya kualitas sumber daya manusia birokrasi secara tidak langsung juga menjadi faktor kegagalan penyelenggaraan pelayanan publik. Kenyataan yang dikemukakan oleh Achmadi tersebut dapat dijelaskan bahwa variabel-variabel lingkungan sejarah, budaya, dan politik telah membentuk perilaku birokrasi publik di Indonesia, dan melekat erat dalam praktek pelayanan publik.
Hasil penelitian Dwiyanto ddk. (2002) memperlihatkan bahwa sejarah panjang terbentuknya kondisi lingkungan birokrasi di Indonesia yang lebih bersifat paternalistik dan sentralistik berinteraksi dengan karakteristik internal birokrasi dengan visi sumber daya manusia yang lebih bersifat pragmatis, pada akhirnya membentuk budaya birokrasi dalam praktek dan perilaku pejabat birokrasi publik yang cenderung berorientasi pada kekuasaan, mengabaikan kepentingan para pengguna jasa, dan sangat kaku dalam menjalankan prosedur dan peraturan sehingga kegiatan pelayanan publik menjadi sangat rule-driven dan rigid. Hal ini menjadi aah satu sumber dari bekrembangnya praktek-praktek KKN dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Tidak adanya komitmen mengembangkan kualitas sumber daya manusia, dan juga tidak adanya sistem insentif yang tepat, yang mampu mendorong para pejabat birokrasi untuk efisien, responsif, dan profesional juga menjadi salah faktor yang ikut membentuk kinerja birokrasi publik menjadi sangat buruk.
Buruknya kinerja birokrasi di Indonesia tidak terlepas dari sejarah panjang birokrasi di Indonesia, khususnya semasa Orde Baru dimana yang menjadikan birokrasi sebagai mesin politik. Imbas dari itu semua, masyarakat harus membayar biaya yang mahal. Ketidakpastian waktu, ketidakpastian biaya, dan ketidakpastian siapa yang bertanggung jawab adalah beberapa fakta empiris rusaknya layanan birokrasi. Lebih dari itu, layanan birokrasi justru menjadi salah satu causa prima terhadap maraknya korupsi, kolusi, nepotisme. Pejabat politik yang mengisi birokrasi pemerintah sangat dominan. Kondisi ini cukup lama terbangun sehingga membentuk sikap, perilaku, dan opini bahwa pejabat politik dan pejabat birokrat tidak dapat dibedakan.
Mengutip catatan guru besar ilmu politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti mengenai fenomena birokrasi di Indonesia, kewenangan besar dimiliki birokrat sehingga hampir semua aspek kehidupan masyarakat ditangani birokrasi. Kewenangan yang terlalu besar itu bahkan akhirnya menonjolkan peran birokrasi sebagai pembuat kebijakan ketimbang pelaksana kebijakan, lebih bersifat menguasai daripada melayani masyarakat. Akhirnya, wajar saja jika kemudian birokrasi lebih dianggap sebagai sumber masalah atau beban masyarakat ketimbang sumber solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat.
Fenomena itu terjadi karena tradisi birokrasi yang dibentuk lebih sebagai alat penguasa untuk menguasai masyarakat dan segala sumber dayanya. Dengan kata lain, birokrasi lebih bertindak sebagai pangreh praja daripada pamong praja. Bahkan kemudian terjadi politisasi birokrasi. Pada rezim Orde Baru, birokrasi menjadi alat mempertahankan kekuasaan. Pasca reformasi pun para pejabat politik yang kini menjabat dalam birokrasi pemerintah ingin melestarikan budaya tersebut dengan mengaburkan antara pejabat karier dengan nonkarier. Sikap mental seperti ini dapat membawa birokrasi pemerintahan Indonesia kembali kepada kondisi birokrasi pemerintahan pada masa orde baru.
Paradigma birokrasi sebagai alat kekuasaan (pangreh praja) di Indonesia telah melahirkan budaya birokrasi yang menempatkan para birokrat (Pegawai Negeri Sipil/PNS) lebih menonjolkan diri sebagai elit yang meminta dilayani, bukan sebagai pegawai yang memberikan jasa pelayanan. Bahkan sifat paternalistik dan sentralistik yang dibentuk sebagai jati diri birokrasi di Indonsia semakin memperburuk citra ”elitis” PNS. Citra buruk tersebut semakin menegaskan munculnya berbagai pandangan dan kritik terhadap kinerja PNS yang rendah, tidak produktif, kurang disiplin, tidak ramah dalam pelayanan, dan masih kuatnya mentalitas PNS dalam praktek-praktek KKN maupun patologi birokrasi dalam berbagai model. Dari perspektif ini, agaknya keinginan untuk membangun budaya birokrasi untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good gorvernance and clean goverment) sulit diwujudkan (http://www.bigs.or.id/bujet/7-3/14.htm, 25 April 2007).
Pada sisi lain, reformasi di Indonesia telah memberikan kesadaran yang siginifkan kepada sebagian masyarakat di Indonesia, terutama dari kalangan kelas menengah yang semakin dinamis dan sadar akan hak-hak nya sebagai warga negara yang harus dilayani oleh pemerintah dengan baik sesuai kebutuhannya, bahkan suara tersebut semkain keras menggema menuntut dilakukannya reformasi birokrasi.
Untuk merespon kondisi masyarakat seperti di gambarkan di atas, maka menurut Effendi dalam Widodo (2001) mengatakan bahwa birokrasi publik harus dapat memberikan pelayanan publik yang lebih profesional, efektif, efesien, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif, dan adaptif dan sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri. Arah pembangunan kualitas manusia berfungsi memberdayakan kapasitas masyarakat dalam arti menciptakan berbagai kondisi yang memungkinkan agar setiap anggota masyarakat berkemampuan untuk mengembangkan dirinya dan kreativitasnya dalam mengatur dan menentukan masa depannya sendiri.