Monday, March 30, 2009

Pelayanan Publik, antara Idealisme dan Kenyataan

Secara teori, sebuah negara dibentuk oleh masyarakat di suatu wilayah tidak lain bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama setiap anggotanya dalam koridor kebersamaan. Dalam angan setiap anggota masyarakat, negara yang dibentuk oleh mereka ini akan melaksanakan fungsinya menyediakan kebutuhan hidup anggotaberkaitan dengan konstelasi hidup berdampingan dengan orang lain di sekelilingnya. Di kehidupan sehari-hari, kebutuhan bersama itu sering kita artikan sebagai “kebutuhan publik”. Contoh sederhana, Kartu Tanda Penduduk (KTP) adalah kebutuhan publik bagi setiap orang yang sudah memenuhi persyaratan tertentu. Tanpa KTP, seseorang akan mengalami kesulitan dalam berurusan dengan orang lain atau sebuah institusi. KTP perlu dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang yang dibentuk dan ditunjuk oleh negara, seperti kelurahan atau desa.

Proses menerbitkan sebuah KTP bagi seorang anggota masyarakat kita sebut sebagai Pelayanan Publik, yang dapat diterjemahkan sebagai segala aktivitas yang dilakukan oleh petugas berwenang dalam melayani pemenuhan kebutuhan publik anggota masyarakatnya. Dalam konteks negara, pemenuhan kebutuhan publik tersebut diartikan sebagai pemenuhan hak-hak sipil seorang warga negara. Pelayanan publik umumnya tidak berbentuk barang melainkan layanan jasa, termasuk jasa administrasi. Hasil yang diperoleh dari adanya pelayanan publik oleh penyedia jasa layanan dapat berbentuk barang maupun bentuk jasa-jasa. Pelayanan publik biasanya dilakukan oleh pemerintah, namun dapat juga oleh pihak swasta.

Untuk dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, negara kemudian membentuk organisasi pemerintahan. Di Indonesia kita kenal sturktur pemerintahan negara dari level paling atas yakni presiden hingga ke level terbawah, Rukun Warga dan Rukun Tetangga (RW/RT). Karena negara dibentuk oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan publik anggotanya, maka sesungguhnya pelayanan publik adalah kewajiban utama seluruh aparatur pemerintah di setiap jenjang pemerintahan dan setiap jenis pelayanan publik. Sebagai sebuah kewajiban, maka sudah semestinya setiap aparat negara memberikan pelayanan publik yang terbaik.

Pelayanan publik umumnya dibagi dalam dua kategori sesuai dengan tingkat kepentingan kebutuhan warga negara, yakni pelayanan publik primer dan pelayanan publik sekunder. Pelayanan publik primer merujuk kepada semua jenis layanan dari sebuah instansi baik pemerintah maupun swasta untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat mutlak dari seorang warga negara. KTP bersifat mutlak bagi setiap warga negara yang sudah memenuhi syarat, terutama dari segi usia (18 tahun ke atas). Pemenuhan layanan air bersih, listrik, dan transportasi juga merupakan kebutuhan layanan publik yang bersifat mutlak bagi setiap orang. Sebaliknya, pelayanan publik sekunder merujuk kepada semua layanan yang tidak mutlak bagi seorang warga negara, semisal kebutuhan tata rias, hiburan, dan sejenisnya.

Untuk semua pelayanan yang bersifat mutlak, negara dan aparaturnya berkewajiban untuk menyediakan layanan yang bermutu dan mudah didapatkan setiap saat. Pada kehidupan bernegara di abad moderen ini, komitmen suatu negara untuk memberikan pelayanan publik yang memadai terhadap kebutuhan publik merupakan implementasi dari pemenuhan hak-hak azasi manusia dari warga negaranya. Oleh karena itu, ketika suatu instansi pemerintah memberikan layanan publik yang buruk, hal tersebut dianggap melanggar konvensi internasional tentang hak azasi manusia. Sebagai contoh, disaat warga negara kesulitan mendapatkan layanan pendidikan yang baik, bermutu, dan mudah diakses, maka sesungguhnya pemerintah telah berlaku lalai, melanggar hak azasi warga negaranya. Hal ini juga berlaku di setiap lembaga penyedia layanan publik, seperti di kelurahan/desa, puskesmas/rumah sakit, dan sebagainya.

Di sektor swasta, setiap lembaga swasta yang menyediakan pelayanan publik sudah semestinya mengadopsi pola pelayanan publik yang mencerminkan penghormatan kepada hak-hak warga negara untuk mendapatkan layanan yang sebaik-baiknya. Saat ini, dibandingkan dengan pihak pemerintah, sistim pelayanan publik pihak swasta umumnya tergolong lebih baik. Hal ini terutama disebabkan oleh tingginya persaingan antar pemberi layanan publik, seperti terlihat pada perusahaan-perusahaan penyedia jasa transportasi yang saling berlomba memberikan layanan terbaik bagi masyarakat. Walaupun demikian, pemantauan dan evaluasi dari masyarakat dan pemerintah tetap dibutuhkan agar kualitas pelayanan publik tetap terjaga bahkan dapat ditingkatkan.

Sebaliknya, yang sering terjadi di lapangan, justru lembaga-lembaga pemerintah selalu kedodoran dalam menyediakan pelayanan publik. Pengurusan KTP, Surat Izin Mengemudi (SIM), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), sulitnya memperoleh layanan pendidikan yang mudah dan bermutu, layanan kesehatan yang tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat, dan sebagainya, merupakan sebagian kecil dari contoh kesemrawutan pelayanan publik oleh pemerintah. Hal tersebut tentunya bertentangan dengan semangat reformasi yang sudah berjalan selama satu dekade ini.

Faktor utama yang menjadi penghambat dalam pelayanan publik yang baik dapat dianalisa dari dua sisi, yakni birokrasi dan standar pelayanan publik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam tubuh pemerintahan negara Indonesia pada semua jenjang dan jenisnya memiliki sturuktur birokrasi yang panjang, gemuk, dan berbelit. Hal ini mengakibatkan panjang dan berbelit-belitnya suatu urusan di sebuah lembaga penyedia layanan publik, yang tentu saja membutuhkan waktu yang lebih lama dan biaya tinggi. Keadaan ini diperburuk oleh mentalitas mayoritas aparat pemerintah yang masih feodalistik dan justru minta dilayani oleh rakyat. Proses rekrutmen kepegawaian yang kurang memperhatikan profesionalisme seseorang juga menjadi faktor penghambat pelaksanaan pelayanan publik dengan baik. Tambahan lagi, sistim penggajian yang rendah seringkali menjadi pemicu setiap petugas negara menjalankan aksi “mempersulit urusan” dari anggota masyarakat yang berurusan dengan mereka.

Ketiadaan standarisasi pelayanan publik yang dapat menjadi pedoman bagi setiap aparat pemerintah adalah sisi lain yang menjadi kelemahan pemerintah (dan juga pihak swasta) dalam memberikan pelayanan publik yang baik. Setiap institusi dapat membuat aturan dan pedoman sendiri sesuai selera masing-masing, dan standar inipun dapat berubah sewaktu-waktu sesuai keinginan dan kebutuhan personal pemimpin institusi tersebut. Alhasil, kualitas pelayanan publik amat beragam antar satu departemen dengan lembaga negara lainnya, antar daerah yang satu dengan daerah yang lain.

Sebagai sebuah negara besar yang sedang membangun, kebutuhan pelayanan publik yang baik dan berkualitas adalah mutlak. Hal ini diperlukan dalam rangka mendorong percepatan pembangunan bangsa dan negara Indonesia menuju pencapaian cita-cita nasional yakni mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur. Kerja keras pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melahirkan Undang-undang Pelayanan Publik (UU PP) adalah sesuatu yang patut dihargai dan didukung bersama. Walaupun, kita sama menyadari bahwa keberadaan sebuah UU di negara tercinta ini belum bisa menjamin sebuah pelaksanaan aturan secara murni dan konsekwen. Namun, paling tidak, masyarakat telah memiliki acuan hukum yang dapat dijadikan landasan berpijak dalam melakukan legal action terhadap ketidak-becusan aparat negara (maupun swasta) dalam memberikan pelayanan publik. (WL)

(Sumber : http://www.explore-indo.com)

1 comment:

  1. Blog dan artikelnya bagus, komentar juga di blog saya www.when-who-what.com

    ReplyDelete