Friday, March 6, 2009

Reformasi Birokrasi di Indonesia

Pada 2004 Asian Development Bank dan Kemitraan untuk Reformasi Tata Pemerintahan di Indonesia (Partnership for Governance Reform in Indonesia) menerbitkan Laporan Tata Pemerintahan Negara Indonesia. Laporan tersebut menyimpulkan bahwa tiga tujuan reformasi tata pemerintahan yang ditempuh oleh Pemerintah Indonesia yakni, penataan struktur pemerintahan negara, desentralisasi pemerintahan, dan reformasi keuangan negara, telah berjalan cukup lancar tetapi belum berhasil seperti diharapkan.
Skala reformasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dinilai mempunyai cakupan yang sangat luas. Bahkan seringkali dipandang terlalu luas dan terlalu cepat jika dibandingkan dengan apa yang pernah dilakukan oleh banyak negara di dunia. Indonesia juga dipandang telah melakukan perubahan radikal dalam tata hubungan antara pusat dan daerah melalui program desentralisasi pemerintahan yang belum pernah ditempuh oleh negara mana pun di dunia.
Namun demikian reformasi yang demikian luas dan begitu radikal perubahannya tersebut, ternyata belum berhasil menciptakan tata pemerintahan yang baik di Indonesia. Seperti diketahui bersama bahwa secara sederhana visi reformasi, khususnya reformasi birokrasi adalah terwujudnya tata pemerintahan yang baik, sementara itu misi daripada reformasi birokrasi adalah membangun, menata ulang, menyempurnakan, membina, dan menertibkan birokrasi pemerintahan, agar mampu dan komunikatif dalam menjalankan peranan dan fungsinya.
Meskipun sudah hampir sepuluh tahun kata ”reformasi” menjadi kata kunci disetiap perbincangan politik, dan telah dianggap sebagai formulasi babak baru modernisasi Indonesia dalam sistem pemerintahan dan sistem politik yang lebih demokratis dan berkeadilan. Namun kenyataannya hingga saat ini, reformasi politik yang terjadi menyusul kejatuhan rezim Orde baru tidak mampu menghasilkan perbaikan kehidupan yang berarti bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Keberhasilan Indonesia untuk menyelenggarakan pemilu yang demokratis dan membentuk rezim pemerintahan yang baru dari sistem otoritarian-sentralistis menjadi sistem demokratis-desentralistis belum juga membawa bangsa ini dari krisis.
Target dan sasaran reformasi birokrasi ada lima hal. Pertama, terbentuknya birokrasi yang bersih, yaitu birokrasi yang anti KKN dan berkurangnya perilaku koruptif pegawai negeri. Kedua, birokrasi yang efisien dan hemat dalam menggunakan sumber daya yang terbatas. Ketiga, birokrasi yang transparan yakni birokrasi yang seluruh kebijakan dan aktivitasnya diketahui masyarakat dan masyarakat dapat mengaksesnya dengan mudah. Keempat, birokrasi yang melayani, yaitu birokrasi yang tidak minta dilayani, tetapi birokrasi yang melayani masyarakat. Kelima, birokrasi yang terdesentralisasi, yaitu kewenangan pengambilan keputusan terdesentralisasi kepada pimpinan unit kerja terdepan.
Kelima target dan sasaran daripada reformasi birokrasi tersebut selama ini masih belum mampu diwujudkan secara nyata oleh pemerintah. Hal ini menurut Thoha (2002) disebabkan karena birokrasi pemerintah semakin terkooptasi dan diintervensi oleh partai politik yang mempersiapkan kemenangan pemilu bagi partainya. Kepentingan subjektivitas partai semakin kuat untuk menguasai birokrasi pemerintah. Hal ini mengakibatkan birokrasi pemerintah terkotak-kotak sebagai kapling partai politik. Partai politik membangun blok (building block) di birokrasi pemerintah untuk kepentingan partainya. Netralitas birokrasi pemerintah terhadap kekuatan partai politik sulit bisa dihindari.
Harapan masyarakat bahwa rezim pemerintahan yang baru dengan sistem demokratis-desentralistis yang dijalankan akan mampu memerangi KKN dalam bentuk pemerintahan yang bersih masih amat jauh dari realitas. Praktek KKN dalam pemerintahan dan pelayanan publik masih terus berlangsung, bahkan dalam skala dan pelaku yang semakin meluas. Keinginan masyarakat untuk menikmati pelayanan yang efisien, responsif, transparan, dan akuntabel masih amat jauh dari realitas. Masuknya orang-orang baru dalam pemerintahan, baik legislatif maupun ekskutif, juga tidak mampu menciptakan perbaikan yang berarti dalam kinerja pemerintah. Bahkan, banyak dia natara mereka akhirnya terperangkap dalam kubangan lumpur KKN dan ikut memperburuk kinerja birokrasi publik.
Kesulitan dalam memberantas KKN dalam pemerintahan dan birokrasi terjadi karena rendahnya komitmen pemerintah untuk membenahi sistem birokrasi publik. Banyak perhatian diberikan untuk mereformasi sistem dan lembaga politik, tetapi hal yang sama tidak dilakukajn dalam birokrasi publik. Reformasi politik yang tidak diikuti oleh reformasi birokrasi ternyata tidak banyak menghasilkan perbaikan kinerja pelayanan publik. Dengan birokrasi yang masih kuat mempraktekan budaya korup, bersikap sebagai penguasa, dan tidak profesional maka perubahan apapun yang terjadi dalam pemerintahan tidak akan memiliki dampak yang berarti bagi perbaikan kinerja pelayanan publik. Karenya, menjadi sangat wajar klau perbaikan kehidupan politik yang menjadi semakin demokratis sekarang ini belum memiliki damak yang berarti pada kinerja birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Kinerja birokrasi pelayanan publik menjadi isu kebijakan yang semakin penting dan strategis karena perbaikan kinerja birokrasi memiliki implikasi yang luas dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan politik. Dalam kehidupan ekonomi, perbaikan kinerja birokrasi akan bisa memperbaiki iklim investasi yang amat diperlukan bangsa Indonesia untuk segara keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Buruknya kinerja birokrasi publik di Indonesia sering menjadi determinan yang penting dari penurunan minat investasi. Dari berbagai studi dan observasi, kinerja birokrasi publik di Indonesia tidak banyak mengalami perbaikan, bahkan cenderung menjadi semakin buruk. Akibatnya, pemerintah mengalami kesulitan dalam menarik investasi, belum lagi ditambah dengan masalah-masalah lain, seperti ketidak-pastian hukum dan keamanan nasional.
Dalam kehidupan sosial, perbaikan kinerja birokrasi akan bisa memperbaiki sistem kehidupan masyarakat yang lebih mengembangkan pola hubungan secara terbuka, taat aturan, menghargai hasil kerja secara profesional, dan berorientasi pada kepuasan hasil kerja (produktivits). Pada akhirnya perbaikan kinerja birokrasi akan lebih mendorong tumbuhnya sistem sosial yang mengutamakan etos kerja dan moralitas sebagai bagian dari relasi sosial.
Dalam kehidupan politik, perbaikan kinerja birokrasi pelayanan publik akan memiliki implikasi luas, terutama dalam memperbaiki tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Buruknya kinerja birokrasi selama ini menjadi salah satu faktor penting yang mendorong munculnya krisis kepercayaan kepada pemerintah. Protes, demonstrasi, dan bahkan pendudukan kantor-kantor pemerintah oleh masyarakat yang banyak terjadi di berbagaia daerah menjadi indikator dari besarnya ketidak-puasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Perbaikan kinerja birokrasi pelayanan publik diharapkan akan memperbaiki kembali image pemerintah di mata masyarakat karena dengan kualitas pelayanan publik yang semakin baik, kepuasan dan kepercayaan masyarakat bisa di bangun kembali.
Oleh sebab itu, kajian mengenai kinerja birokrasi publik menjadi issue sentral dan memiliki nilai strategis terutama yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik. Namun dari berbagai kajian empiris dan teoretis; seperti yang dilakukan oleh Dwiyanto, dkk (2002) memperlihatkan bahwa informasi mengenai kinerja birokrsi pelayanan publik dan faktor-faktor yang ikut membentuk kinerja birokrasi menjadi amat penting untuk merumuskan kebijakan yang holistik guna memperbaiki kinerja birokrasi. Tanpa didasarkan pada informasi yang akurat dan reliabel, kebijakan reformasi birokrasi tidak mampu menyentuh semua dimensi persoalan yang selama ini menghambat upaya perbaikan kinerja birokrasi publik.
Pengalaman menunjukkan bahwa sudah sewindu gerakan reformsi birokrasi dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki kinerja birokrasi tidak mampu menghasilkan perubahan yang berarti. Hal ini terjadi karena kebijakan tersebut gagal menyelesaikan berbagai masalah yang selama ini ikut memberikan kontribusi pada rendahnya kinerja birokrasi. Hal ini ditandai dengan semakin meluas eskalasi korupsi baik pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah otonom, semakin mahalnya ongkos yang dikeluarkan oleh masyarakat pengguna jasa pelayanan publik. Kenyataan ini semakin menguatkan sinyalemen semakin terpuruknya kinerja birokrasi publik di tengah berlangsungnya gerakan reformasi birokrasi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Achmadi (2004) menunjukkan bahwa kegagalan kebijakan reformasi birokrasi dalam memperbaiki kinerja birokrasi adalah diakibatkan oleh kegagalan kebijakan reformasi birokrasi yang mampu menumbuhkan budaya organisasi yang mampu mendorong perubahan-perubahan yang posotif terhadap penyelenggaraan pelayanan publik. Selain itu, masih rendahnya kualitas sumber daya manusia birokrasi secara tidak langsung juga menjadi faktor kegagalan penyelenggaraan pelayanan publik. Kenyataan yang dikemukakan oleh Achmadi tersebut dapat dijelaskan bahwa variabel-variabel lingkungan sejarah, budaya, dan politik telah membentuk perilaku birokrasi publik di Indonesia, dan melekat erat dalam praktek pelayanan publik.
Hasil penelitian Dwiyanto ddk. (2002) memperlihatkan bahwa sejarah panjang terbentuknya kondisi lingkungan birokrasi di Indonesia yang lebih bersifat paternalistik dan sentralistik berinteraksi dengan karakteristik internal birokrasi dengan visi sumber daya manusia yang lebih bersifat pragmatis, pada akhirnya membentuk budaya birokrasi dalam praktek dan perilaku pejabat birokrasi publik yang cenderung berorientasi pada kekuasaan, mengabaikan kepentingan para pengguna jasa, dan sangat kaku dalam menjalankan prosedur dan peraturan sehingga kegiatan pelayanan publik menjadi sangat rule-driven dan rigid. Hal ini menjadi aah satu sumber dari bekrembangnya praktek-praktek KKN dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Tidak adanya komitmen mengembangkan kualitas sumber daya manusia, dan juga tidak adanya sistem insentif yang tepat, yang mampu mendorong para pejabat birokrasi untuk efisien, responsif, dan profesional juga menjadi salah faktor yang ikut membentuk kinerja birokrasi publik menjadi sangat buruk.
Buruknya kinerja birokrasi di Indonesia tidak terlepas dari sejarah panjang birokrasi di Indonesia, khususnya semasa Orde Baru dimana yang menjadikan birokrasi sebagai mesin politik. Imbas dari itu semua, masyarakat harus membayar biaya yang mahal. Ketidakpastian waktu, ketidakpastian biaya, dan ketidakpastian siapa yang bertanggung jawab adalah beberapa fakta empiris rusaknya layanan birokrasi. Lebih dari itu, layanan birokrasi justru menjadi salah satu causa prima terhadap maraknya korupsi, kolusi, nepotisme. Pejabat politik yang mengisi birokrasi pemerintah sangat dominan. Kondisi ini cukup lama terbangun sehingga membentuk sikap, perilaku, dan opini bahwa pejabat politik dan pejabat birokrat tidak dapat dibedakan.
Mengutip catatan guru besar ilmu politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti mengenai fenomena birokrasi di Indonesia, kewenangan besar dimiliki birokrat sehingga hampir semua aspek kehidupan masyarakat ditangani birokrasi. Kewenangan yang terlalu besar itu bahkan akhirnya menonjolkan peran birokrasi sebagai pembuat kebijakan ketimbang pelaksana kebijakan, lebih bersifat menguasai daripada melayani masyarakat. Akhirnya, wajar saja jika kemudian birokrasi lebih dianggap sebagai sumber masalah atau beban masyarakat ketimbang sumber solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat.
Fenomena itu terjadi karena tradisi birokrasi yang dibentuk lebih sebagai alat penguasa untuk menguasai masyarakat dan segala sumber dayanya. Dengan kata lain, birokrasi lebih bertindak sebagai pangreh praja daripada pamong praja. Bahkan kemudian terjadi politisasi birokrasi. Pada rezim Orde Baru, birokrasi menjadi alat mempertahankan kekuasaan. Pasca reformasi pun para pejabat politik yang kini menjabat dalam birokrasi pemerintah ingin melestarikan budaya tersebut dengan mengaburkan antara pejabat karier dengan nonkarier. Sikap mental seperti ini dapat membawa birokrasi pemerintahan Indonesia kembali kepada kondisi birokrasi pemerintahan pada masa orde baru.
Paradigma birokrasi sebagai alat kekuasaan (pangreh praja) di Indonesia telah melahirkan budaya birokrasi yang menempatkan para birokrat (Pegawai Negeri Sipil/PNS) lebih menonjolkan diri sebagai elit yang meminta dilayani, bukan sebagai pegawai yang memberikan jasa pelayanan. Bahkan sifat paternalistik dan sentralistik yang dibentuk sebagai jati diri birokrasi di Indonsia semakin memperburuk citra ”elitis” PNS. Citra buruk tersebut semakin menegaskan munculnya berbagai pandangan dan kritik terhadap kinerja PNS yang rendah, tidak produktif, kurang disiplin, tidak ramah dalam pelayanan, dan masih kuatnya mentalitas PNS dalam praktek-praktek KKN maupun patologi birokrasi dalam berbagai model. Dari perspektif ini, agaknya keinginan untuk membangun budaya birokrasi untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good gorvernance and clean goverment) sulit diwujudkan (http://www.bigs.or.id/bujet/7-3/14.htm, 25 April 2007).
Pada sisi lain, reformasi di Indonesia telah memberikan kesadaran yang siginifkan kepada sebagian masyarakat di Indonesia, terutama dari kalangan kelas menengah yang semakin dinamis dan sadar akan hak-hak nya sebagai warga negara yang harus dilayani oleh pemerintah dengan baik sesuai kebutuhannya, bahkan suara tersebut semkain keras menggema menuntut dilakukannya reformasi birokrasi.
Untuk merespon kondisi masyarakat seperti di gambarkan di atas, maka menurut Effendi dalam Widodo (2001) mengatakan bahwa birokrasi publik harus dapat memberikan pelayanan publik yang lebih profesional, efektif, efesien, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif, dan adaptif dan sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri. Arah pembangunan kualitas manusia berfungsi memberdayakan kapasitas masyarakat dalam arti menciptakan berbagai kondisi yang memungkinkan agar setiap anggota masyarakat berkemampuan untuk mengembangkan dirinya dan kreativitasnya dalam mengatur dan menentukan masa depannya sendiri.

1 comment:

  1. Best Casino & Resort Spa in Phoenix | KLRH
    The casino's 10,000-square-foot casino is the third largest on the Boulder-Taconline 동두천 출장마사지 Reservation, and is the first casino 시흥 출장마사지 in Colorado 이천 출장샵 to 청주 출장안마 operate at a casino. 통영 출장마사지 The

    ReplyDelete